Minggu, 29 Juli 2012

LAPORAN EKOPER KELAUTAN -UH

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan  wilayah pesisir yang  memiliki ekosistem yang beranekaragam dan syarat akan potensi pengelolaan. Dalam suatu wilayah pesisir terdapat satu atau lebih sistem lingkungan (ekosistem) pesisir dan nonpesisir. Ekosistem pesisir ada yang terus menerus tergenangi air dan adapula yang hanya sesaat. Berdasarkan sifat ekosistem, ekosistem pesisir dapat bersifat alamiah dan ada buatan. Ekosistem alami yang terdapat di wilayah pesisir antara lain adalah : terumbu karang (coral reefs), hutan mangrove, padang lamun, pantai berpasir,  dan pantai berbatu, sedangkan ekosistem buatan antara lain berupa, tambak, sawah pasang surut, kawasan pariwisata, kawasan industri dan kawasan pemukiman (Bengen, 2001).
Ekosistem mangrove dan makrozoobentos mempunyai potensi yang sangat besar untuk menunjang produksi perikanan. Nilai produktifitas primer diperairan pesisir sangat tinggi dibandingkan produktifitas primer yang ada dilaut dangkal pada umumnya. Karena produktifitas perairan yang tinggi  maka daerah pesisir merupakan habitat yang baik untuk dijadikan sebagai tempat pemijahan, pengasuhan serta sebagai tempat mencari makan dan pembesaran (Bengen, 2001).
Kedua ekosistem tersebut diatas merupakan ekosistem yang berkaitan satu sama lain, oleh karena itu  jika salah satu ekositem tersebut rusak maka akan berdampak buruk, tidak hanya  pada ekosistem lainnya, tetapi berdampak pada seluruh ekosistem yang terdapat di tempat  tersebut.  Kami melakukan praktek lapang di Pulau Sabangko, Kec. Liukang Tupabbiling, Kab. Pangkep dan analisis data makrozoobentos di laboratorium ekologi perairan pada tanggal 7 april 2009, karena kondisi ditempat ini lebih representatif untuk dapat mengamati kedua ekosistem sekaligus mengamati ekosistem lainnya.
B. Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dari pelaksanaan praktek lapang ekologi perairan ini yaitu :
1. Untuk mengetahui hubungan antara keseragaman habitat (habitat diversity)   terhadap keberadaan makrozoobentos dan terhadap ekosistem mangrove.
Sedangkan kegunaan dari pelaksanaan praktek ini adalah untuk memberikan pemahaman mengenai ekosisteem mangrove beserta organisme yang berperan di dalamnya, serta memahami keanekaragaman dan kelimpahan makrozoobentos.
C.     Ruang Lingkup Praktek Lapang
          Ruang lingkup dalam praktek ini yang kami lakukan meliputi pengukuran pada ekosistem mangrove dan organisme makrozoobentos. Pada ekosistem mangrove yang diukur adalah  penutupan jenis mangrove, dan pengolahan data habitat (indeks keseragaman). Sedangkan pada makrozoobentos yang ingin diketahui adalah mengkalasifikasikan zoobentos, indeks keanekaragaman (H’), indeks keseragaman (E), dan indeks dominansi. Dan untuk mendukung semua data yang ada pada ekosistem tersebut, maka dilakukan perhitungan-perhitungan dan langkah-langkah yang tepat dan telah ditetapkan.
 
TINJAUAN PUSTAKA
A. Ekosistem Laut
Dilihat dari sudut ekologi, wilayah pesisir dan laut merupakan lokasi beberapa ekosistem yang unik dan saling terkait, dinamis dan produktif. Beberapa ekosistem utama di wilayah pesisir dan laut yang dikemukakan adalah estuaria, hutan mangrove, padang lamun, terumbu karang, pantai (berbatu dan berpasir), dan pulau-pulau kecil (Bengen, 2001).
Estuaria adalah wilayah pesisir semi tertutup yang mempunyai hubungan bebas dengan laut terbuka dan menerima masukan air tawar dari daratan. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang-surut pantai berlumpur. Lamun merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga yang memiliki rhizoma, daun dan akar sejati yang hidup terendam di dalam laut. Terumbu karang merupakan suatu ekosistem khas yang terdapat di wilayah pesisir dan laut daerah tropis. Pantai merupakan garis sudut terendah dan air pasang tertinggi, dimana ditemukan substrat berbatu dan berkerikil (Bengen, 2001).
Yang dimaksud dengan pulau-pulau kecil adalah pulau yang mempunyai luas area kurang dari atau sama dengan 10.000 km2 atau lebarnya kurang dari 10 km.
 
B. Ekosistem Mangrove
a. Defenisi, Ciri dan Fungsi Ekosistem Mangrove
Hutan bakau (mangrove) adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan yang asin (Nybakken, 1992).
Bakau (Mangrove) adalah tumbuhan daratan berbunga yang mengisi kembali pinggiran laut. Sebutan bakau ditujukan untuk semua individu tumbuhan, sedangkan mangal ditujukan bagi seluruh komunitas atau asosiasi yang didominasi oleh tumbuhan ini.
Karakteristik habitat  mangrove menurut Bengen (2001), adalah :
1.    Umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir.
2.    Daerahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun yang hanya tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove.
3.    Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat.
4.    Terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat.
5.    Air bersalinitas payau (2–22 permil) hingga asin mencapai 38 permil.
6.    Ditemukan banyak di pantai-pantai teluk yang dangkal, estuaria, delta dan daerah pantai yang terlindung.
Sepanjang pantai tropik dan subtropik, asosiasi dari pohon-pohon halophyta, semak-semak, palem dan tumbuhan menjalar membentuk suatu daerah yang padat atau hutan yang diklasifikasikan sebagai hutan mangrove atau mangal. Mangal adalah suatu istilah yang sering digunakan oleh ahli ekologi untuk mendefinisikan seluruh komunitas tumbuhan dan istilah mangrove untuk menunjukkan suatu individu dari semak atau pohon, meskipun kedua istilah sudah digunakan untuk maksud yang sama. Sistem tumbuhan tersebut berkembang dengan baik pada daerah yang terlindung, laguna pasang surut dan estuaria antara lintang 260 Utara dan 250 Selatan. Hutan mangrove berkisar mulai dari tanda pasang tertinggi dan turun hingga mendekati permukaan laut. Sedimentasi biasanya tinggi tumbuhan mangrove berakar dangkal, memiliki akar-akar penyangga atau akar-akar yang jatuh turun yang berakhir hanya beberapa cm diatas tanah, pada beberapa kasus akar kabel memanjang secara horizontal dari dasar batang dan menyokong akar-akar napas (Pneumatophora), yang mengarah vertikal keatas melalui permukaan sedimen (Arifin, 2005).
Fungsi dan manfaat hutan mangrove mangrove menurut Bengen (2001), adalah :
1.    Sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung dari abrasi, penahan lumpur dan penangkap sedimen.
2.    Penghasil sejumlah besar dentritus dari daun dan dahan pohon mangrove.
3.    Daerah asuhan (nursery grounds) daerah mencari makanan (feeding grounds) dan daerah pemijahan (spawning grounds) berbagai jenis ikan, udang dan biota laut lainnya.
4.    Penghasil kayu untuk bahan konstruksi, kayu bakar, bahan baku arang, dan bahan baku kertas (pulp).
5.    Pemasok larva ikan, udang, dan biota lainnya.
6.    Sebagai tempat pariwisata.
b. Kondisi Lingkungan dan Faktor Pembatas
Mangrove di Indonesia memiliki keanekragaman jenis yang tinggi yang seluruhnya tercatat sebanyak 89 jenis tumbuhan. Jenis pohon pada zonasi tumbuhan mangrove memiliki berbagai variasi pada lokasi yang berbeda, ditentukan oleh jenis tanah, kedalaman dan periode genangan, kadar garam dan daya tahan terhadap ombak serta arus. selain itu, akibat ketergantungan mangrove terhadap aliran air tawar menyebabkan penyebaran mangrove juga terbatas. Oleh karenanya mangrove tumbuh pada daerah intertidal dan supratidal di daerah tropis dan subtropis yang cukup mendapat aliran air tawar (Nontji, 1987).
Karena mangrove dapat berkembang sendiri yaitu pada tempat dimana  tidak terdapat gelombang, kondisi pertama yang harus ada pada daerah bakau ialah gerakan air yang minimal.  Kurangnya gerakan air ini mempunyai pengaruh yang nyata.  Gerakan air yang lambat menyebabkan partikel sedimen halus cenderung mengendap dan berkumpul di dasar.  Pada keadaan ini, daerah tersebut seperti pantai berlumpur yang telah dibicarakan sebelumnya di mana terdapat sirkulasi interstitial yang minimal dan jumlah bakteri yang banyak, menimbulkan kondisi anoksik (Nybakken, 1992).
Menurut Arifin (2005), faktor-faktor lingkungan yang membatasi distribusi  mangrove :
  1.    Suhu
Di antara faktor-faktor lingkungan yang membatasi distribusi spasial mangrove, suhu udara merupakan yang paling penting. Mangrove tumbuh subur pada kondisi-kondisi tropis dimana suhu udara melebihi 200C dan kisaran suhu musiman kurang dari 50C.
  2.    Salinitas
Mangrove adalah halophyta yang fakultatif. Meskipun spesies mangrove bervariasi  toleransinya terhadap salinitas, namun kontribusinya terhadap pola-pola zonasi umumnya sudah teramati, mereka bersaing keluar dalam tumbuhan darat.
   3.    Pasang Surut
         Komunitas tumbuhan dari sistem mangrove sering lebih luas pada garis pantai yang  tidak curam dengan kisaran pasang surut yang besar. Akumulasi substrat pada daerah tersebut mempermudah perkembangan anakan mangrove yang dengan cepat meluas.
4.    Angin dan Penguapan (Evaporasi)
Angin mempengaruhi mangrove dalam beberapa cara yang terpisah. Hanyutan air pesisir dan arus pasang dimodifikasi oleh arah dan kecepatan angin. Aksi gelombang adalah menonjol, terutama pada saat pasang tinggi oleh kondisi badai.
5.    Drainase atau Aerasi
Aerasi tanah adalah penting dalam lingkungan mangrove dalam mensuplai oksigen untuk respirasi. Aerasi secara langsung berhubungan dengan drainase tanah, dan karena itu sangat bervariasi. Hal tersebut bergantung pada elevasi, keterjalan topografi, dan karakteristik fisik substrat terutama tekstur. Dan karakteristik fisik substrat terutama tekstur.
c. Struktur Komunitas
Mangrove meliputi pohon-pohonan dan semak yang terdiri dari 12 genera tumbuhan berbunga dalam 8 family yang berbeda. Yang paling penting  atau dominan adalah genera Rhizopora, Avicennia, Bruguiera, dan Sonneratia. Mangrove mempunyai sejumlah bentuk khusus yang memungkinkan mereka untuk hidup di perairan lautan yang dangkal yaitu berakar pendek, meyebar luas dengan akar penyangga atau tudung akarnya yang khas tumbuh dari batang atau dahan (Nybakken, 1992).
Komposisi flora yang terdapat pada ekosistem mangrove ditentukan oleh beberapa faktor penting seperti kondisi jenis tanah dan genangan pasang surut. Di pantai terbuka pohon yang dominan dan merupakan pohon perintis (pionir) umumnya adalah api-api (avicennia) dan pedada (Sonneratia). Api-api cenderung hidup pada tanah yang berpasir agak keras sedangkan pedada pada tanah yang berlumpur lembut (Nontji, 1987).
Hewan-hewan yang hidup di ekosistem mangrove  berasal dari darat, laut dan air tawar. Beberapa dari sifat adaptasinya berkaitan dengan substrat yang berlumpur. Ikan mangrove yang khas, yakni ikan gelodog telah mengembangkan siripnya untuk meluncur di permukaan lumpur dan air. Kepiting darat yang hidup di sini beradaptasi untuk hidup di darat untuk saat yang lama (Romimohtarto, 2001).
Kebiasaan ngerong (masuk ke liang) banyak terdapat pada hewan mangrove. Liang-liang itu digunakan untuk tempat hidup, makan, bernapas, sembunyi dan berbiak. Beberapa hewan mangrove beradaptasi hidup melekat pada akar mangrove. Tiram mangrove biasa menempel pada akar Rhizophora. Bersama mereka biasanya terdapat masyarakat kecil terdiri dari keong, kerang, kepiting, udang, teritip, Isopoda, Amphipoda, cacing, sepon, dan ikan (Romimohtarto, 2001).
d. Dinamika (zonasi dan sukresi)
            Menurut Bengen (2001), zonasi hutan mangrove sebagai berikut :
a.   Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia spp.
b.   Pada zona ini biasa berasosiasi Sonneratia spp, yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya akan bahan organik.
c.   Lebih kearah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora spp. Di zona ini juga dijumpai Bruguiera spp dan Xylocarpus spp.
d.   Zona berikutnya di dominasi oleh Bruguiera spp.
e.   Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi oleh Nypa fruticans, dan beberapa spesies palem lainnya.
 Menurut Mann (1928) dalam Arifin (2005), terdapat lima zone pembagian mangrove mulai dari tingkat tertinggi hingga tingkat terendah yaitu :
1.    Spesies mangrove yang tumbuh di atas tanah yang dibanjiri pasang setiap waktu, tidak ada spesies yang secara normal tahan terhadap kondisi tersebut, namun Rhizophora mucronota dapat bertahan dan merupakan suatu pengecualian.
2.    Spesies yang tumbuh di atas tanah yang dibanjiri oleh pasang pada ukuran dan ketinggian menengah; yaitu Avicennia, dan yang membatasi dengan sungai adalah Rhizophora mucronota.
3.    Spesies yang tumbuh diatas tanah yang dibanjiri oleh pasang yang normal tingginya, merupakan spesies kebanyakan, namun Rhizophora cenderung yang dominan.
4.    Spesies yang tumbuh diatas tanah yang dibanjiri oleh pasang hanya pada saat pasang sempurna, terdiri dari spesies Brugueria gymnorhiza.
5.    Spesies yang tumbuh diatas tanah yang dibanjiri hanya pada saat pasang-pasang tertentu, contohnya Brugueria gymnorhiza.
Banyak penyelidikan berpendapat bahwa mangrove merupakan suatu pionir  atau tahap suksesi yang berseri dimana rawa mangrove berevolusi dari suatu komunitas estuaria hingga hujan tropik. Berdasarkan proses ini mangrove sedang berevolusi menuju menuju suatu komunitas air tawar, tumbuhan darat melalui modifikasi dari habitat oleh populasi tumbuhan itu sendiri. Kemudian spesies selanjutnya merubah habitat dimana dia tumbuh dan akhirnya spesies lain menggantikannya. Hypotesis ini telah diperkuat oleh Davis (1940) dalam Arifin (2005), dia menggembar-gemborkan bahwa rawa mangrove Florida sebagai suatu contoh ideal dari suksesi tipe i.
e. Rantai Makanan

Tumbuhan mangrove mengkonversi cahaya matahari dan zat hara (nutrien) menjadi jaringan tumbuhan (bahan organik) melalui proses fotosintesis.  Tumbuhan mangrove merupakan sumber makanan potensial, dalam berbagai bentuk, bagi semua biota yang hidup di ekosistem mangrove.  Berbeda dengan ekosistem pesisir lainnya, komponen dasar dari rantai makanan di ekosistem mangrove bukanlah tumbuhan mangrove itu sendiri, tapi serasah yang berasal dari tumbuhan mangrove (daun, ranting, buah, batang dan sebagainya).
Sebagian serasah mangrove didekomposisi oleh bakteri dan fungi menjadi zat hara (nutrien) terlarut yang dapat dimanfaatkan langsung oleh fitoplankton, alga ataupun tumbuhan mangrove itu sendiri dalam proses fotosintesis, sebagian lagi sebagai partikel serasah (detritus) dimanfaatkan oleh ikan, udang dan kepiting sebagai makanannya.  Proses makan memakan dalam berbagai kategori dan tingkatan biota membentuk suatu jala makanan (Bengen, 2001). 
f. Asosiasi
Menurut Arifin (2005), ada beberapa tumbuhan dan fauna yang hidup  berasosiasi dengan tumbuhan mangrove yaitu :
a.    Alga bentik
Alga bentik juga merupakan faktor yang sangat penting sebagi peroduser primer. Akar-akar mangrove merupakan media melekat dari alga benthik. Alga-alga ini biasanya melekat pada bagian akar yang tergenang oleh air. Mangrove-mangrove yang ada di dunia umumnya berasosiasi dengan alga-alga bentik seperti Brostrica, Calaglosa, Catenella, dan Murraylla.  Lumpur intertidal dari mangrove florida sering menunjang kapadatan yang tinggi untuk Cladophoroppsis dan Vaucheria. Flora alga ini menunjang makanan untuk fauna bentik di mangrove.
b.    Fauna bentik
Avertebrata bentik dari rawa mangrove kebanyakan adalah bersifat penyaring dan deposit feeder. Pada banyak daerah mangrove crustacea dan molusca mendominasi komunitas fauna benthik. Kepiting merupakan bagian utama biomassa fauna dari mangrove Karibia. Kepiting lumpur, amphiphoda dan isophoda juga mencapai kelimpahan yang tinggi pada zone pasang tertinggi. Kepiting-kepiting ini biasanya memakan deposit permukaan pada saat pasang surut. Kecepatan arus dan kekeruhan dapat menentukan manfaat relatif dari organisme pemakan deposist dan penyaring dalam komunitas mangrove. Perairan yang memiliki aliran arus yang kuat  dan kekeruhan yang rendah membentuk perkembangan populasi penyaring yang baik.
g. Aliran Energi
Aliran energi sangat berbeda dengan rantai makanan, rantai makanan sifatnya merupakan hal yang berkesinambungan. Dalam aliran energi ini, energi akan berpindah dari produsen ke konsumer tingkat I, kemudian berpindah ke konsumer tingkat II setelah itu berpindah lagi ketingkat selanjutanya lewat proses saling makan memakan. dalam hal ini bukan rantai makanannya yang akan kita lihat melainkan adalah energi yang berpindah dari organisme satu ke organisme yang lain. Energi-energi yang ada pada organisme ini tidak akan pernah kembali ketempatnya semula, tetapi energi ini akan terus mengalir Pada saat perpindahan energi tidak semua energi akan berpindah akan tetapi ada yang berubah ketika organisme tersebut mati, namun perlu diingat bahwa energi tersebut dalam jumlah yang tetap (Nybakken, 1992).
C. Ekosistem Makrozoobentos
a. Hubungan Antara Mangrove dan Makrozoobentos
Hewan bentos hidup relatif menetap, sehingga baik digunakan sebagai petunjuk kualitas lingkungan, karena selalu kontak dengan limbah yang masuk ke habitatnya.  Kelompok hewan tersebut dapat lebih mencerminkan adanya perubahan faktor-faktor lingkungan dari waktu ke waktu. karena hewan bentos terus menerus terdedah oleh air yang kualitasnya berubah-ubah (Rosenberg, 1993).
Diantara hewan bentos yang relatif mudah diidentifikasi dan peka terhadap perubahan lingkungan perairan adalah jenis-jenis yang termasuk dalam kelompok invertebrata makro.  Kelompok ini lebih dikenal dengan makrozoobentos (Rosenberg, 1993).
Keberadaan hewan bentos pada suatu perairan, sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan, baik biotik maupun abiotik.  Faktor biotik yang berpengaruh diantaranya adalah produsen, yang merupakan salah satu sumber makanan bagi hewan bentos.  Adapun faktor abiotik adalah fisika-kimia air yang diantaranya: suhu, arus, oksigen terlarut (DO), kebutuhan oksigen biologi (BOD) dan kimia (COD), serta kandungan nitrogen (N), kedalaman air, dan substrat dasar (Allard dan Moreau, 1987)
Zoobentos merupakan hewan yang sebagian atau seluruh siklus hidupnya berada di dasar perairan, baik yang sesil, merayap maupun menggali lubang (Rosenberg, 1993).
Berdasarkan ukurannya, zoobentos dapat digolongkan ke dalam kelompok zoobentos mikroskopik atau mikrozoobentos dan zoobentos makroskopik yang disebut juga dengan makrozoobentos. Organisme yang termasuk makrozoobentos diantaranya adalah: Crustacea, Isopoda, Decapoda, Oligochaeta, Mollusca, Nematoda dan Annelida (Cummins, 1975).
Penggunaan makrozoobentos sebagai indikator kualitas perairan dinyatakan dalam bentuk indeks biologi.  Cara ini telah dikenal sejak abad ke 19 dengan pemikiran bahwa terdapat kelompok organisme tertentu yang hidup di perairan tercemar.  Jenis-jenis organisme ini berbeda dengan jenis-jenis organisme yang hidup di perairan tidak tercemar.  Kemudian oleh para ahli biologi perairan, penge-tahuan ini dikembangkan, sehingga perubahan struktur dan komposisi organisme perairan karena berubahnya kondisi habitat dapat dijadikan indikator kualitas perairan (Rosenberg, 1993).
  METODE PRAKTIK
A.        Waktu dan Tempat
Kegiatan praktek lapang Ekologi Perairan dilaksanakan pada Hari Kamis, tepatnya pada Tanggal 26 Maret 2009 Pukul 10.30-14.00 Wita di Pulau Sabangko, Kecamatan Liukang Tupabbiling, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan. Sedangkan identifikasi sampel dan analisis data dilakukan di Laboratorium Ekologi Laut, Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar.
B.        Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam kegiatan praktek lapang ini adalah Tali transek plastik sepanjang 50 meter untuk membuat stasiun, Transek 20x20 cm2 untuk menandai tempat pengamatan, Sekop kecil untuk mempermudah mendapatkan makrozoobentos, Kantong sampel digunakan sebagai wadah makrozoobentos, Roll meter untuk mengukur jarak stasiun, Meteran kain digunakan untuk mengukur besar pohon mangrove, Coolbox sebagai tempat alat dana bahan, Pinset mempermudah mencari makrozobentos yang memiliki ukuran kecil, Alkohol 70% digunakan untuk mengawetkan makrozoobentos, Spidol permanent untuk menandai sampel, Sabak digunakan agar data tidak terhapus pada air, dan Sepatu Boot agar kaki tidak terluka.
C.     Prosedur Kerja
a.    Ekosistem Mangrove
a)    Menyiapkan alat dan bahan praktek.
b)    Menentukan lokasi praktek yang representatif untuk pengambilan data.
c)    Mengukur lebar mangrove dengan menggunakan roll meter.
d)    Membuat plot 10x10m menggunakan tali transek dengan jarak 25m.
e)    Mengestimasi persentase penutupan setiap karakter seperti genangan, lapisan serasah, pasir, lumpur, semaian, dan pneumatophore.
f)     Mengukur diameter batang pohon setinggi dada untuk mengestimasi pentupan pohon (basal area).
g)    Menetapkan transek (20x20)m dan menentukan 3 sampai 4 titik dalam setiap plot.
h)    Mengambil sampel makrozoobentos pada titik yang ditentukan.
D.     Analisis Data
Ekosistem Mangrove
1.   Penutupan Jenis
            Ci = ΣBA /A
            Dimana : BA    =   DBH2 / 4
                            DBH = CBH / p
                            CBH = keliling batang (dalam m)
p              = 3, 14
2.    Pengolahan Data Habitat (Indeks Keanekaragaman)
H' = -∑ pi log pi
Dimana : H’ = Indeks keanekaragaman
                pi = proporsi area yang ditutupi oleh kategori-i
Ekosistem Makrozoobentos
1.   Kelimpahan Jenis
            Di = ni / A
           Di mana : Di = Kelimpahan jenis makrozoobentos
               ni = Jumlah individu mekrozoobentos untuk setiap jenis ke-i
               A = Luas total area plot

2.   Indeks Keanekaragaman (H’)
     H’ = - ∑ ni/N ln ni/N
     Dimana : H’ = Indeks Keanekaragaman
                     ni = Jumlah individu setiap spesies
                                 N = Jumlah individu seluruh spesies
3.   Indeks Keseragaman (E)
            E = H’ / H’ max
            Dimana : H’max = ln S
             S = Jumlah spesies
             E = Indeks keseragaman
             H’ = Kecenderungan maximal
4.   Indeks Dominasi (C)
            C = ∑ (ni/N)2
            Dimana : C = Indeks dominasi jenis
                            ni = Jumlah individu jenis
                            N = Jumlah total individu

 HASIL DAN PEMBAHASAN
A.        Gambaran Umum Lokasi Praktek
Pulau Sabangko yang terletak di wilayah Kecamatan Liukang Tupabbiring Kabupaten Pangkep merupakan wilayah yang memiliki  potensi ekologis yang cukup kompleks. Hal ini ditandai dengan adanya ekosistem esensial  seperti ekosistem lamun, hutan mangrove dan sebagainya.  Pulau ini termasuk dalam daerah perlindungan laut (DPL).  Pulau ini juga memiliki beberapa komoditas penting seperti kepiting rajungan, cumi-cumi, udang, teripang, ikan-ikan ekonomis penting dan sebagainya.
Kepulauan Sabangko merupakan pulau yang memiliki kondisi hutan mangrove yang mulai menipis, dengan keadaan substrat berupa pasir dan lumpur, yang mana jenis mangrove yang tumbuh berupa Rhizopora spp. Masyarakat yang bermukim di kepulauan Sabangko umumnya masyarakat yang memiliki tingkat pengetahuan yang masih rendah tentang pentingnya keberadaan hutan mangrove dimana ekosistem mangrove dianggap hanya sebagai tempat ikan untuk memijah dan dimanfaatkan  untuk kayu bakar dan dalam konteks pelestarian sebagian masyarakat tidak melakukan penanaman hutan mangrove dengan alasan tidak mengetahui cara menanam  pohon mangrove.
 B.        HASIL
a.      Ekosistem Mangrove
Tabel 1. Hasil Penutupan Mangrove
STASIUN
PLOT
PENUTUPAN
Tergenang (%)
Pasir (%)
Lumpur (%)
Serasah (%)
Semaian (%)
Pneumatophore (%)
1
1
12
13
5
80

2
40
20
10
30

3
50
8
40
2
2
1
10
30
50
10

2
9
12
10
65

3
30
60
10

4
5
4
10
81
Tabel 2. Penutupan Mangrove pada stasiun 1
STASIUN
PLOT
POHON
Spesies
Individu
KB (cm)
1
1
Soneratia sp.
1
50


2
55


3
47
2
Rhizophore sp.
1
33,6


2
35


3
33,9


4
43

Soneratia sp.
1
47


2
29,2


3
29,7
3
Rhizophore sp.
1
28,5


2
28,7


3
26


4
24


5
36


6
34


7
26


8
51,3


Tabel 3. Penutupan Mangrove pada stasiun 2
STASIUN
PLOT
POHON
Spesies
Individu
KB (cm)
2
1
Rhizophore sp.
1
34,3


2
27,7


3
22,9
2
Soneratia sp.
1
100,5


2
37,3
3
Rhizophore sp.
1
25


2
33


3
45


4
26


5
33,3


6
47
4
Soneratia sp.
1
142


2
125

Tabel 4. Pengolahan Data habitat pada stasiun 1
STASIUN 1
SPESIES
KEPADATAN
pi
Log pi
pi (Log pi)
Soneratia sp.
6
0.333333333
-0.47712125
-0.15904042
Rhizophora sp.
12
0.666666667
-0.17609126
-0.11739417
Jumlah (∑)
18


-0.27643459

Tabel 5. Pengolahan Data habitat pada stasiun 2
STASIUN 2
SPESIES
KEPADATAN
pi
Log pi
pi (Log pi)
Soneratia sp.
4
0.307692308
-0.51188336
-0.15750257
Rhizophora sp.
9
0.692307692
-0.15970084
-0.11056212
Jumlah (∑)
13


-0.26806469





b.     Organisme Makrozoobentos
Tabel 6. Data Makrozoobetos yang ditemukan pada stasiun 1
Stasiun
Jenis
Jumlah
1
Trachycardium orbita
3
Littorina sp.
2
Littorina scabra
2
Conus bandanus
6
Jantina pragilis
3
Haliotis japonica
10
Anodonta
6
Pariglypta raticulata
4
Comus striatus
3
Tabel 7. Data Makrozoobentos yang ditemukan pada stasiun 2
Stasiun
Jenis
Jumlah
2
Littorina scabra
8
Conus bandanus
9
Jantina pragilis
7
Haliotis japonica
18
Anodonta
1
Comus striatus
3




Tabel 8. Data Indeks Keanekaragaman (H’) pada Stasiun 1
Spesies
Kepadatan
ni/N
(ni/N)2
ln ni
ni/N (ln ni)
Trachycardium orbita
2
0,057143
0,1142857
-2,862201
-0,16355434
Littorina sp.
2
0,057143
0,1142857
-2,862201
-0,16355434
Littorina scabra
5
0,142857
0,2857143
-1,94591
-0,27798716
Conus bandanus
6
0,171429
0,3428571
-1,763589
-0,30232947
Jantina pragilis
4
0,114286
0,2285714
-2,169054
-0,24789185
Haliotis japonica
11
0,314286
0,6285714
-1,157453
-0,36377088
Anodonta
2
0,057143
0,1142857
-2,862201
-0,16355434
Pariglypta raticulata
2
0,057143
0,1142857
-2,862201
-0,16355434
Comus striatus
1
0,028571
0,0571429
-3,555348
-0,10158137
Jumlah(∑)
35
1
2

-1,94777808
Tabel 8. Data Indeks Keanekaragaman (H’) pada Stasiun 2
Spesies
Kepadatan
ni/N
(ni/N)
ln ni
ni/N (ln ni)
Littorina scabra
8
0,173913
0,0302457
-1,7492
-0,3042087
Conus bandanus
9
0,195652
0,0382798
-1,631417
-0,3191902
Jantina pragilis
7
0,152174
0,0231569
-1,882731
-0,2865026
Haliotis japonica
18
0,391304
0,1531191
-0,93827
-0,367149
Anodonta
1
0,021739
0,0004726
-3,828641
-0,0832313
Comus striatus
3
0,065217
0,0042533
-2,730029
-0,1780454
Jumlah (∑)
46
1
2

-1,5383272
  
C.     PEMBAHASAN
            Jenis pohon mangrove mempunyai variasi pada lokasi yang berbeda sesuai dengan keadaan substrat dan lingkungan daerah tersebut. Pada lokasi praktek yaitu Pulau Sabangko terdapat dua jenis mangrove yaitu Soneratia sp., Rhizophora stylosa, dan Rhizophora apiculata. Alasan mengapa hanya kedua spesies tersebut yang ditemukan adalah karena daerah tersebut termasuk dalam zonasi hutan mangrove yang lebih dekat ke darat dan merupakan zonasi kedua dari ekosistem mangrove (Bengen, 2001).
Organisme-organisme yang berasosiasi pada ekosistem mangrove sangat beragam yaitu Hewan Gastropoda dan Moluska. Keberadaan organisme tersebut karena banyaknya pasokan makanan pada ekosistem mangrove. Hal ini didukung oleh kandungan unsur hara pada ekosistem mangrove. Salah satunya adalah nitrat dan merupakan nilai yang normal sehingga sangat baik untuk pembentukan protein dan dikonsumsi oleh organisme yang berada di daerah tersebut. Selain itu, unsur yang berperan penting adalah posfat. Unsur-unsur tersebut sangat cocok untuk pertumbuhan fitoplankton sehingga banyak organisme yang mencari makan di ekosistem mangrove. Olehnya itu, ekosistem mangrove sangat terkenal dengan fungsi ekologinya sebagai feeding ground.
a.    Ekosistem Mangrove
Pada stasiun 1 terdapat banyak pohon mangrove, dan terdapat banyak organisme makrozoobentos karena kondisi dasar air dangkal sehingga mudah mendapatkan makrozoobentos dan memiliki genangan yang cukup persentatif mencapai 50%, dan stasiun ini memiliki beragam jenis ukuran pohon mangrove mulai dari yang terkecil 22 cm hingga yang terbesar 54 cm. Dan mangrove pada stasiun 1 plot 1 hanya terdapat Soneratia sp. Karena pada plot ini memiliki pneumatophore yang mencapai 80%, kemudian pada plot 2 terdiri dari 4 pohon  Rhizophora apiculata dan 3 pohon Soneratia sp., kemudian plot 3 hanya terdapat Rhizophora apiculata sebanyak 8 pohon terbukti karena pada plot ini tidak terdapat pneumatophore.
Pada stasiun 2 sangat berbeda dengan stasiun 1 yang dimana pada stasiun ini lebih dalam sehingga genangannyapun berkurang mencapai 5% dan untuk mendapatkan makrozoobentos agak sulit, akibat kekeruhan pada air namun terdapat lebih banyak pneumatophore dibanding pada stasiun yang mencapai 83%. Jenis makrozoobentos yang ditemukan pada stasiun 1 tidak jauh berbeda dengan apa yang ada di stasiun 2, karena memang jarak antara stasiun tidak terlalu jauh, sehingga jenisnya hampir sama. Dan mangrove yang terdapat pada stasiun 2 sangat bervariasi karena pada plot 1 hanya terdapat jenis mangrove Rhizophora apiculata sebanyak 3 pohon,  dan pada plot 2 hanya terdapat jenis mangrove Soneratia sp. sebanyak 2 pohon., kemudian pada plot 3 sama pada plot 1 yang hanya dihidupi oleh jenis Rhizophora apiculata sebanyak 6 pohon, dan yang terakhir pada plot 4 juga hanya hidup jenis Soneratia sp. sebanyak 2 pohon, dan secara keseluruhan pada stasiun ini memiliki besar batang yang sangat bervariasi mulai dari yang terkecil 22 cm dan yang terbesar 147 cm dan ini merupakan pohon yang terbesar pada lokasi dimana kami mengambil sampel, baik dari stasiun 1 maupun stasiun 2.
 b.    Makrozoobentos
Kemudian pada organisme makrozoobentos terdapat banyak jenis yang masing-masing memiliki bentuk yang berbeda namun ada juga yang hampir sama, tetapi ada bagian-bagian tertentu yang membedakan sehingga kita mampu mengklasifikasikan spesies tersebut, dalam pencarian makrozoobentos terdapat perbedaan jenis antara stasiun 1 dan stasiun 2, pada stasiun kami menemukan jenis Trachycardium orbita, Littorina sp, Littorina scabra, Conus bandanus, Jantina pragilis, Haliotis japonica, Anodonta, Pariglypta raticulata dan Comus striatus, dan pada stasiun 2 tidak jauh berbeda dengan stasiun 1 namun ada sebagian spesies yang tidak mampu ditemukan pada stasiun 2 seperti Pariglipta raticulata, Trachycardium orbita dan Littorina sp.

SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Dari pengamatan yang kami lakukan dapat ditarik kesimpulan bahwa ;
1.    Hubungan antara keseragaman habitat (habitat diversity) terhadap keberadaan makrozoobentos dan terhadap ekosistem mangrove adalah saling membutuhkannya antara ekosistem mangrove dan organisme makrozoobentos didalam hal  kebutuhan makanan baik dari ekosistem mangrove maupun organisme makrozoobentos, dan dimana  didapatkan komponen biotik ekosistem berupa Rhizophora apiculata dan soneratia sp., makrozoobentos yang ada berupa jenis gastropoda dan jenis molusca dimana terdapat trachycardium orbita, Littorina sp, Litoorina scabra, Conus bandanus, Jantina pragilis, Haliotis japonica, Anodonta, Pariglypta raticulata dn Comus striatus. Sedangkan komponen abiotiknya adalah pasir, Lumpur, air dan pecahan terumbu.
B. Saran
            Pada saat pengambilan sampel, sebaiknya diperhatikan kondisi alat dan kondisi fisik para praktikan maupun asisten yang bersangkutan agar kelancaran dalam praktek lapang dapat terjalin dengan baik.
 DAFTAR PUSTAKA
Allard dan Moreau. 1987. Perairan Air Tawar. Erlangga. Jakarta.
Arifin.  2005. Panduan Praktek Lapang Ekologi Laut. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Makassar.

Bengen, D.G., 2001. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Cummins. 1975. Indikator Makrozoobentos. PT. TKCM. Tangerang.
Nontji, Anugrah., 1987. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta.

Nybakken, J.W., 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Indonesia.

Romimohtarto, Kasijan., 2001. Biologi Laut Lipi. Gramedia. Jakarta.

Rosenberg. 1993. Indikator Biologis. Erlangga. Jakarta.